AL FARABI DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PERKEMBANGAN LOGIKA (MANTIK)
DALAM ISLAM
A. Al Farabi
Hidup dan Karyanya
Ia adalah
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharchan. Sebutan Al Farabi diambil dari
nama kota Farabi, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah
seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Sejak kecil Al Farabi
suka belajar dan punya kecakapan dalam bidang bahasa. Setelah besar, Al Farabi
meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu
pengetahuan pada masanya. Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika.
Sesudah itu
ia pndah ke Harran, sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.
Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad
dan untuk mendalami filsafat sesudah mendalami ilmu mantik, dan di Baghdad ia
berdiam selama 30 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktunya untuk mengarang,
memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat. Pada tahum 330 H (941
M), ia pindah ke Damsyik dan menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337
H (950 M) pada usia 80 tahun.
Al Farabi
luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang
buku-buku dalam ilmu-ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita
maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matenatika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, Ketuhanan, fiqh dan mantik.
Diantara karangan-karangannya (A. Hanafi, 1969:89-90), yaitu:
- Aghradlu Ma Ba’da at-Thabi’ah.
- Al-Jam’u baina Ra’jai al-Hakimain (Mempertemukan pendapat kedua filosof: Maksudnya Plato dan Aristoteles).
- Tahsil as-Sa’adah (Pokok-pokok Persoalan).
- ‘Ujun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).
- Ara-u Ahl-il-Madinah Al-Fadlilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama = Negeri Utama).
- Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Pada abad
pertengahan, AlFarabi menjadi sangat terkenal, sehingga orang-orang Yahudi
banyak yang mempelajari karangan-karangannya dan disalin pula kedalam bahasa
Ibrani. Sampai sekarang salinan tersebut masih tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa, disamping salinan-salinan dalam bahasa Latin,
baik yang disalin langsung dari bahasa Arab atau dari bahasa Ibrani tersebut.
Menurut
Massignon, seorang orientalis berkebangsaan Prancis sebagaimana dikutip oleh A.
Hanafi (1969:89) menyatakan bahwa: “Al Farabi adalah seorang filosof Islam yan
pertama dengan sepenuh arti kata”. Sebelum dia memang Al Kindi telah membuka
filsafat Yunani bagi dunia Islam. Akan tetapi ia tidak menciptakan sistem
(mazhab) filsafat tertentu, sedang persoalan-persoalan yang dibicarakannya
masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya Al
Farabi telah dapat menciptakan sistem filsafat yang lengkap dan telah memaikan
peranan penting dalam dunia Islam.
B. Asal-usul
Logika (Mantik) dan Perkembangannya
Logika berasal
dari bahasa Yunani yaitu logos yang berarti perkataan sebagai manipestasi dari
pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara
pikiran dan kata yang dimanipestasikandalam bahasa. Secara etimologis dapatlah
diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan
dalam bahasa.
Menurut
Poedjawiatna (1992:14) “Logika itu mengutamakan teknik berpikir”. Menurut
Endang Saefudin Anshari (1987:94) “Logika adalah filsafat tentang pikiran yang
benar dan yang salah”. Sedangkan menurut Abdur Rohman Al-Akhdhoriy :
“Ilmu mantik
bagi pikiran, adalah sebagai ilmu Nahwu bagi lisan, artinya ilmu mantik
digunakan sebagai alat berpikir (memikirkan sesuatu) jangan sampai cara
berpikir itu keliru, disamping digunakan untuk menguak tabir/penutupnya
pengertian yang rumit-rumit (Cholil Bisri Mustofa, 1991:6)”.
Dari
pendapat di atas jelas bahwa logika adalah ilmu yang mempelajari cara atau
teknik berpikir dengan benar. Dengan berpikir yang benar kita akan terhindar dari
kesalahpahaman dan pesan dari pikiran kita mudah dimengerti oleh pihak lain.
Logika
merupakan hasil karya ahli-ahli filsafat Yunani kuno sejak abad kelima sebelum
masehi. Peletak pertamanya Socrates, kemudian dilanjutkan oleh Plato dan
dilengkapi lagi oleh Aristoteles, yang menyusun ilmu ini dengan
pembahasan-pembahasan yang teratur dan dibuat dari ilmu falsafah. Dengan
demikian maka Aristoteles diberi gelar Guru Pertama dari ilmu pengetahuan. Ilmu
ini sejak dari Aristoteles tidak ada tambahan apa-apa. Baru setelah lahir
ahli-ahli filsafat Islam di abad pertengahan, di situlah banyak tambahan dalam
persoalan-persoalan, apalagi pembahasan mengenai lafadhnya banyak di tambah
oleh ahli-ahli filsafat Islam. Tetapi menurut Burhanudin Salam (1988:3) bahwa:
“Sebelum
Aristoteles sebenarnya sudah ada kaidah-kaidah yang merupakan ajaran-ajaran
tentang berpikir benar (logika), yaitu di negeri-negeri Timur Kuno (Babylon,
Mesir, India, Tionghoa dan lain-lain). Tetapi menurut tradisi Aristoteleslah
yang berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah-kaidah berpikir benar ini secara
sistematis”.
Kalau
Aristoteles diberi gelar guru pertama ilmu pengetahuan, maka gelar keduanya
adalah Al Farabi. Hal ini karena Al Farabi berhasil memperbaharui pembahasan
ilmu mantik, dimana ilmu mantik dulu hanya merupakan teori-teori belaka, tetapi
sejak Al Farabi kemudian dimulainya ilmu mantik ini dipelajari secara amali
(praktek, dalam arti tiap-tiap qodhiyah di uji kebenarannya).
Buku-buku
Aristoteles dalam bidang logika terkenal dengan nama Organon dan telah
diterjemahkan oleh para cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab. Keenam buku
tersebut, yaitu sebagai berikut:
“Pertama,
buku Catagoriae (al Maqulat), berisi sepuluh macam predikat (keterangan).
Kedua, buku Interpretatione (tafsiran-tafsiran), berisi keterangan tentang
bahasa, yaitu tentang proposisi dan bagian-bagiannya. Ketiga, buku Analytica
Priora (Uraian pertama), yang membicarakan tentang qiyas (Syllogisme). Keempat,
buku Analytica Posteriora (Uraian kedua), yang membicarakan cara pembuktian
ilmiah. Kelima, buku Topika, yang berisi qiyas dialektika dan pemikiran dari
hal-hal ynag belum pasti. Keenam, buku Sophistici Elenchi (Kesalahan-kesalahan
Sofistis), yang berisi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh
orang-orang Sofist, penolakan terhadap mereka dan pemecahannya” (A. Hanafi,
1969:52-53).
Keenam buku
tersebut oleh Al Farabi diberi tafsiran dan ulasan-ulasan, sehingga orang-orang
yang berminat mempelajari filasat khususnya logikamudah untuk memahaminya.
Untuk itu kiranya tidak berlebihan kiranga pengalaman Ibnu Sina dalam
mempelajari filsafat sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi (1969:89), yaitu:
“Ibnu Sina
pernah mempelajari buku Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali,
tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku Al Farabi yang
berjudul Intisari Buku Metafisika, baru ia mengerti apa yang selama ini
dirasakan sukar”.
Inilah salah
satu kelebihan Al Farabi, yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Maka tidaklah berlebihan apabila ia
diberi julukan Guru Kedua dalam ilmu pengetahuan setelah Aristoteles.
Al Farabi
memberi perhatian khusus terhadap logika. Pendapat-pendapatnya tentang logika
sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi (1969:96), yaitu sebagai berikut:
- “Definisi logika: Logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya.
- Guna logika: Maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran kita sendiri.
- Lapangan logika: Lapangannya ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pikiran.
- Bagian-bagian logika: Bagian-bagiannya ada delapan, yaitu 1. Categori (al Maqulat al ‘asyr); 2. Kata-kata (al barah; terms); 3. Analogi pertama (al Qiyas); 4. Analogi kegua (al Burhan); 5. Jadal (debat); 6. Sofistika; 7. Retorika; dan 8. Putika (syair)”.
Dari kutipan
di atas jelas, bahwa dalam bidang logika Al Farabi berada dalam barisan
terdepan setelah Aristoteles apalagi dikalangan cendekiawan muslim. Peran
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya
dan logika pada khususnya serta menjadi acuan dan inspirasi bagi
ilmuwan-ilmuwan selanjutnya.
C. Manfaat
Mempelajari Logika
Mempelajari
logika banyak sekali manfaatnya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Dengan mengetahui dan memahami logika kita dapat berpikir dengan benar begitu
juga orang lain pun dapat memahami apa maksud dari pikiran kita. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Al Farabi bahwa: “Guna logika: Maksud logika ialah
agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat
membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran diri kita
sendiri” (A. Hanafi, 1969:96).
Dengan
demikian jelas bahwa apabila kita menguasai logika, kita bisa menilai atau
mengukur hasil pemikiran kita dan orang lain apakah benar atau salah. Apabila
benar itu yang diharapkan dan apabila salah harus segera dan siap dibetulkan.
Sebab apabila pemikiran yang salah dibiarkan bisa menimbulkan kesalahpahaman
dan mencelakakan atau menyesatkan.
Besarnya
manfaat mempelajari ilmu mantik (logika) ini dikemukakan oleh Taib Thahira
Abdul Mu’in (1995:15), yaitu:
“Mempelajari
ilmu ini sungguh sangat berfaidah sekali untuk hal-hal berikut:
1. Melatih
jiwa manusia agar dapat memperhalus jiwa pikirannya.
2. Mendidik
akal pikiran dan mengembangkannya yang sebaik-baiknya dengan melatih dan
membiasakan mengadakan penyelidikan-penyelidikan tentang cara berpikir”.
Dengan
membiasakan latihan berpikir, manusia akan mudah dan cepat untuk mengukur atau
menilai pikirannya apakah benar atau salah, apakah mudah dipahami atau
membingungkan. Dengan demikian mempelajari ilmu mantik ini sebagai perantara
yang merupakan suatu jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain, juga untuk menimbang
bagaimana kebenaran ilmu-ilmu itu terutama dari sudut pandang teknik atau
bentuk pemikirannya. Manfaat mempelajari ilmu mantik juga dikemukakan oleh
Abdur Rohman Al Akhdhoriy dalam kitabnya Assulamul Munauroq, yaitu:
“Maka, perlu
bagimu mengkaji danmengerti qoidah-qoidah norma-norma pokok ilmu mantik, yang
norma-norma itu menandung beberapa faidah yang penting (umpamanya mengkaji
kitab ini) yang aku berinama Assulamul Munauroq, salah satu kitab mantik kecil
tapi memadai; yang dengan kitab ini insya Alloh Ilmu Mantik yang tinggi,
meninggi langit dapat diatasi” (Cholil Bisri Mustofa, 1991:7).
Dari kutipan
di atas jelas bahwa dengan mempelajari ilmu mantik kita dapat mendapatkan ilmu
yang tinggi. Ketinggian ini bisa dari segi manfaatnya juga bisa dari segi
pemahamannya. Untuk itu bagi kita terutama bagi para pendidik atau siapa saja
yang berkecimpung dalam penyampaian suatu ilmu atau informasi kepada orang
lain, mempelajari dan memahami ilmu mantik (logika) merupakan sesuatu yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan di Indonesia ilmu mantik menjadi materi
kajian hampir di semua pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
- Anshari, E.S. (1987). Ilmu, Filsafat Agama. Surabaya:Bina Ilmu.
- Hanafi, A. (1969). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:Bulan Bintang.
- Mu’in, T.T.A. (1995). Ilmu Mantiq. Jakarta:Widjaya.
- Mustofa, C.B. (1991). Ilmu Mantiq. Bandung:Alma’arif.
- Poedjawiatna, I..R. (1992). Logika (Filsafat Berpikir). Jakarta:Rineka Cipta.
- Salam, B. (1998). Logika Formal. Jakarta:Bina Aksara.
0 comments:
Post a Comment