ISLAM DAN NEGARA
Dalam Wacana Pemikian Islam
A.
Pengantar
Wacana pemikiran Islam tentang hubungan agama dengan negara mengalami
sebuah dinamisasi terutama pasca kebangkrutan pemerintahan khilafah Islam terakhir, Turki Usmani. Hal ini disebabkab oleh beberapa faktor. Pertama,
terjadinya pergeseran paradigma pemikiran agama yang dimulai sejak ekspansi
Prancis atas Mesir yang menyebabkan hentakan psikologi ummat Islam akan fakta
kemajuan bangsa-bangsa di luar Islam. Keadaan
ini meyadarkan ummat Islam, semisal Jamaluddin Afgani, Muhammad Abduh dan
lain-lain, untuk segera melakukan upaya pembaruan sikap yang tentunya harus
dimulai dari pembaruan paradigma. Sejak itu pergeseran paradigma mulai terjadi
dalam benak ummat Islam dan menjadi usaha yang nampak niscaya untuk menggapai
kemajuan. Kedua, akibat perkembangan modernisasi yang melanda dunia, termasuk di dalamnya
dunia Islam yang secara berangsur-angsur
menempatkan modernisasi
dengan implikasinya sebagai keharusan sejarah. Akibatnya, terjadi pergeseran
singnifikan terhadap tafsir bentuk negara ideal yang menyeret debat seputar
bagaimana peran agama dalam menentukan pemerintahan dalam sebuah negara
modern yang majemuk. Terutama sekali seperti apa yang terjadi pada
negara-negara yang
penduduknya mayoritas Islam, seperti Indonesia, Sudan, Turki, Malaysia dan lain-lain.
Pada perkembangan selanjutnya, semangat pembaruan pemikiran
tersebut, khususnya wacana agama dengan negara, mengalami dinamisasi internal.
Hingga muncul adanya pemikiran pentingnya dilakukan rekonstruksi pemahaman atas
tafsir keagamaan ummat Islam, termasuk di dalamnya debat seputar interrelasi
agama dengan negara yang menjadi salah satu pokok penting dalam pemikiran
politik Islam, baik dalam bentuknya yang normatif maupun historis.
B.
Pembahasan
Dari pokok pikiran yang berkembang dalam diskursus pemikiran
politik Islam, masing-masing kelompok tersebut dapat digolongkan dalam tiga
tipologi. Pertama, kelompok yang menempatkan agama sebagai subordinasi
atas negara dan memandang interrelasi agama dengan negara sebagai keharusan
integralistik. Kelompok ini memandang agama sebagai institusi yang sempurna
dalam mengontrol kehidupan sosial-politik manusia, sehingga pendekatan lain
tidak diperlukan lagi. Model ini dapat dijumpai jejaknya pada tokoh-tokoh
pemikir Islam, semisal Almaududi, Ali Jinnah, Natsir.
Kedua, kelompok
yang melihat kemungkinan adanya negoisasi terhadap aspek-aspek dari luar
sepanjang tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip universalisme agama Islam.
Kelompok ini toleransif dan melihat celah dilakukannya jastifikasi terhadap
anasir luar, semisal demokrasi, HAM dan isu lainnya yang bisa saja
dipertimbangkan.
Ketiga, kelompok
yang memandang interrelasi agama dengan negara berada dalam ruang yang terpisah
atau sekuler. Dalam pandangan komunitas ini, agama tidak boleh dijadikan
jastifikasi atas kehidupan politik suatu bangsa. Tentu saja argumen yang
dikemukakan oleh kelompok terakhir ini mempunyai segmen bahasan yang cukup kuat
tentang bagaimana seharusnya sekularisme, hubungannya dengan universalisme
agama atau pesan-pesan normatif agama Islam yang tertuang dalam cakupan nash
(Alquran dan Sunnah).
Berdasarkan tiga tipologi di atas, wacana interrelasi agama
dengan negara menjadi ide terapan pada masing-masing pemikirnya. Usaha
menurunkan pemikiran tentang agama dengan negara dalan tingkatan praktik dapat
dilihat pada beberapa usaha-usaha para penggiatnya, misalnya seruan Maududi
terhadap negara Islam Pakistan yang hingga hari ini tetap relevan terjadi. Atau
apa yang terjadi pada negara Turki oleh Mustafa Kemal dengan kemalismenya yang
mempraktekkan Turki sekuler. Di Indonesia hingga hari ini, konteks negara agama
tetap saja ramai dipelopori dengan variabel yang beragam, dari yang ilegal
hingga dianggap konsitusional.
1. Tipologi Integralistik
Tipologi ini
melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan
agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang
menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara
berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau
bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir
politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama
dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang
lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.[1] Rasyid Ridha,
Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.
1. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha,
sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga
kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka
bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap
despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata
politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan
umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk
mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan
pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun
menghendakinya.[2]
Tentu saja ahl
al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya
saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa
klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh
yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi
keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama
yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari
berbagai bidang.
Selain itu,
berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam
pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya
pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika
perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum.
Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks
kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan
romantis,[3] bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil
memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur
negara Islam berikutnya.
Ia merupakan
penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan
mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan
al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid
Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser
Tahir Azhari Nomokrasi Islam.[4]
2. Sayyid Qutub dan al-Maududi
Seperti halnya
Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional
(kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai
jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan
penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara
penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun
sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan
penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga
al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia
adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya
menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena
manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia
tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep
politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah
Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang
disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk
menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh
undang-undang Nya yakni syari’at.[5] Manusia diberik kewenangan untuk
mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang
tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan
musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan
kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan
jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh
seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang
belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum
undang-undang Tuhan.
Pemikiran
pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh
tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip
tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate
(khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara
keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid berarti
hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah
penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian,
segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang
pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut
Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan
melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan
perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang
berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.
Khilafah, ia
jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan
sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di
bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan
menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam
ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap
manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan
tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah
perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan
menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan
kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah
itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan
nama khilafah kolektif.
Untuk
memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan,
Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan
pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan
empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua,
pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya.
Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah
ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi
perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.[6]
B. Tipologi Sekuler
Kebalikan dari
tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda
dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara.
Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi
al-Sayyid.
Pada bulan
Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya
jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak
bisa berfungsi sejak awal. Setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya
April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah
menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan
dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini
mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. [7] Judul buku tersebut adalah al-Islam wa
Ushul al-Hukm.
Tesis utama
dari buku ini adalah:[8]
1. Nabi
Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
2. Bahwa Islam
tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh
memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
3. Bahwa
tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar
dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan
dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
4. Bahwa sistem
ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena
ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam
sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.[9]
1. Dalam bagian
pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta
ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa
mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan
dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun
dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2. Dalam bagia
kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara
risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa
risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3. Dalam bagian
ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan
pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan
antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan
mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang
paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad
Diya al-Din Al-Rayis[10] adalah pandangannya bahwa Islam tidak
punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk
yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam
ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok
Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam
al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian
seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang
jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang
harus dibangun umat Islam.
Ali Abd
al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr
(mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak
pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan
institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan.
Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari,
ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia
juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi
hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.[11]
Di sinilah Ali
Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya
antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan
teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan
politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan
jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan
Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun
kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya
tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam
sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak
perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan
perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam
dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan
kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu
pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali
menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak
bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi
politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan
kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya
bersifat sekuler.
Orang lain yang
memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi
al-Sayyid.[12] Menurutnya agama dan negara adalah dua
hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan
diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi
al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani,
gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran
ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah
prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan
dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah
mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas
manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya,
menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas
gagasan nasionalisme Mesir.
Perlu juga
disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ
tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang
terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak
disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang
lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti
ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.
C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Berbeda dengan
dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat.
Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua
yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini,
kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu,
tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan
bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir
1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal,
di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan
yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah
misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga
tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu.
Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun)
memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu
melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab
asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga
pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam
dan tampak.[13]
Namun demikian,
sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip
dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni.
Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga,
persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua.
Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih,
rasa keadilan, dan takwa.
2. Muhammad Abduh (1862-1905)[14]
Muhammad Abduh,
meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya
masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu
bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai
model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan
masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh
menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu
mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari
konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan
di atas.
Tentang sumber
kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah.
Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya
rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk
kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak
mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad
pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain
kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai
kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi
atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu
kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan
urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.
Jelasnya
menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1)
Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari
Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun,
dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak
seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang
agama atas orang lain.[15]
Bahkan, menurut
Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan
keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang
mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad
hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan
ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang
mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak
terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari
langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta
mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara
agama.
Pendapat Abduh
di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara
pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa
kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia
bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau
kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan
pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Abduh mengakui
bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum
yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk
pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap
dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara
beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil
diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik
kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta.
Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap
muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya
bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau
khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga
pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama,
termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja
memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.
Dalam hal
ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila
pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat
harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu
tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.
Dengan
kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat
dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak
memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk
menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada
prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan
yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.
Dari
pendapat-pendapatnya tampaknya Abduh berpendirian bahwa
pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk
memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang
negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak
meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima
negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran
keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih
penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena
baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus
melaksanakan prinsip-prinsip Islam.
3. Fazlurrahman
Bila Haikal
tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir
Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia
Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an
dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai
tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah
yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang
kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif,
saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan
gender atau kulit.
Selanjutnya
Fazlur Rahman[16] menjelaskan konsep syûra (musyawarah).
Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti
yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat
timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih
Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan
nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat.
Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam
yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah
dijelaskan di muka.
Sebagaimana
Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan
perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat
mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional
seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan
paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun
bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif
dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi
seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari
sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang
telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral
Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat
non Muslim.
Dalam
pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum
Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa
peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran
kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi
mengkritik habis
sekularisasi
gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang
didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak
pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi
terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam
adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk
mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat,
sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas
pribadi dan sosialnya secara harmonis.
[1] Ini
biasa juga disebut dengan tipologi ideal totalistik. Tipologi ideal-totalistik diwakili
oleh mayoritas pemikir keagamaan yang sangat committed kepada Islam sebagai
doktrin seluruh aspek kehidupan. Kelompok ini percaya sepenuhnya kepada doktrin
Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk kebangkitan kembali sejarah
kegemilangan kaum Muslim. Menurut kelompok ini, umat Islam harus kembali kepada
ajaran asli Islam, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Usaha
penyucian Islam dari ajaran-ajaran asing baik yang berasal dari dalam (bid'ah
kaum Muslim) maupun dari luar (Barat dan modernitas) menjadi agenda utama untuk
mencapai keaslian ajaran Islam (Ashlah al-Islamiyah).
Kemunduran yang dialami kaum Muslim sekarang ini disebabkan jauhnya mereka dari
ajaran Islam. Usaha Islamisasi untuk segala aspek kehidupan Muslim menjadi agenda
utama. Dari masalah etika, tingkah laku secara individu maupun sosial, hingga
ilmu dan landasan epistemologi yang akan diserap oleh mereka, harus diislamkan,
agar seluruh gerak dan tindakan yang hendak dilakukan oleh kaum Muslim adalah
Islamis.
[2] Sebagaimana
ulasan Bassam Tibi dalam the Challenge of Fundamentalisme yang
diterjemahan dalam judul bahasa Indonesia, wacana Fundamentalisme; Islam
Politik dan Dunia Baru, (Cet. I; Tiara Wacana; Yogyakarta, 2000). H. 63
[3] Dalam
Gamal al-Banna, relasi Agama dan Negara, (Cet.I; Mata Air Publising: Jakarta,
2006), h. 32
[5] Sebagaimana
dikutip oleh Nurkhalis Madjid dalam Agama dan dialog antar peradaban, ed.
Natsir Tamara, Cet. I; Paramadinah: Jakarta, 1996), H. 67
[6] Muhammad
Sanusi, Pemikiran Politik Almaududi, skripsi Fak. Ushuluddin IAIN
Alauddin, 1994, h. 13
[7] Lihat, Nora Onar adalah peneliti
pembantu pada Pusat Kajian Eropa, St. Antony's College, University of Oxford.
Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat
dibaca di www.commongroundnews.org
[8]Lihat, Syafiq al-Muqni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Cet. I; Jakarta: logos, 1997), h . 123
[9] Lihat, Sherif Mardin, dalam Perkembangan
Moderen Dalam Islam, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor), h. 246
[12] Tentang
Lutfi al-Syaukani dapat dilihat dalam artikel yang ditulis oleh Lutfi Asyaukani
dalam blog bengkel Turast (Turats blogspot.com)
[13] Data
ini diambil dari ensiklopedia Oxford, selengkapnya lihat The oxford Encylopedia of the Moden
Islamic Wold, (vol. IV; New York: Oxfod University Press, 1995), h. 345-349
[15] Nirwana,
Pemikiran Muhammad Abduh, makalah disampaikan pada seminar kelas mata kuliah
Pemikiran Islam Modern, konsentrasi Pemikiran Islam, 2008
[16] Tema-tema pembaharuan Fazlur Rahman
tesebar dalam tulisan-tulisannya, baik jurnal, artikel maupun buku. Salah
satunya lihat, Islamic Modernism; Its Scope, Method and Alternatives,
(vol. IV; IJMES: Cambride), h. 321-335. lihat juga,
Fazlurrahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tronsformasi Intelektual, (Bandung;
Pustaka Hidayah, 1995), h. 83
0 comments:
Post a Comment