Dewasa ini terjadi di
masyarakat kita adalah menipisnya atau bahkan hilangnya rasa malu. Padahal malu
itu termasuk salah satu cabang Iman. Dan dengan malu manusia akan mampu untuk
menjaga diri dari kemaksiatan. Namun apa yang terjadi sekarang, hilangnya rasa
malu sehingga kemaksiatan terjadi di depan mata, seperti korupsi, perzinahan,
pembunuhan, menampakkan aurat dan lain sebagainya.
Rasulullah saw bersabda di
riwayatkan dalam hadis Imam Bukhari no. 3483 dan 3484. Yang artinya :
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ
الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ
النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Sesungguhnya salah satu
perkara yang telah di ketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu
adalah jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.”
Ajaran para Nabi, sejak
pertama hingga Nabi terakhir. Ada yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di
antara ajaran yang tidak pernah sirna adalah Rasa Malu. Hal ini menunjukkan
bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Agama. Oleh
karena itu harus mendapatkan perhatian yang lebih mendalam.
Lantas apa sebenarnya Malu
itu?
Malu adalah satu kata yang
mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang di benci. (lihat Raudhatul ‘Uqala
wa Nuzhatul Fudhala (hal. 53)).
Imam Ibnul Qayyim berkata:
“ Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa Malu
berasal dari kata Al-Hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak mahsyur. Hidup dan
matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu
pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh
seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu
menjadi lebih sempurna.
Al Junaid berkata: “ Rasa
Malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu
kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah yang memotivasi untuk
meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
(Madarijus Salikin
(II/270). Lihat juga Fathul Bari (X/522) tentang definisi Malu.
Dari definisi di atas penulis
menyimpulkan bahwa Malu ialah sifat terpuji yang dimiliki manusia yang harus
diwujudkan dalam aktifitas sehari-hari agar meraih Ridha ilahi
وَمِنْ عُقُوْبَاتِهَا ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَةُ
الْحَياَة ِللْقَلْبِ وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَذِهَابُ كُلِّ خَيْرٍ
بِأَجْمَعِهِ
Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan
SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu,
berarti hilangnya seluruh kebaikan
Malu adalah salah satu cabang keimanan, sebagaimana yang telah
disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka barang siapa
yang kurang rasa malunya berarti bukti lemah imannya. Dalam as-Shahihain (kitab
Shahih al-Bukhari dan Muslim) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
beliau bersabda:
الحياء لا يأتي إلا بخير
"Tidaklah muncul rasa malu kecuali dengan kebaikan"
Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat Muslim :
الحياء خير كله
"Malu itu baik semuanya"
Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radiallahu 'anhu bahwa Beliau berkata:
Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radiallahu 'anhu bahwa Beliau berkata:
إن الله إذا أراد بعبد هلاكا نزع منه الحياء, فإذا نزع منه الحياء, لم
تلقه إلا مقيتا ممقتا
"Sesungguhnya jika Allah menginginkan kehancuran terhadap
seorang hamba, Ia akan mencabut sifat malu darinya, maka jika sifat malu itu
telah diangkat darinya, kamu 'tak 'kan menemuinya kecuali (ia dalam keadaan)
dibenci dan memuakkan"
Seorang penyair berkata:
Seorang penyair berkata:
فلا والله ما في العيش خير ولا الدنيا إذا ذهب الحياء
يعيش المرء ما استحيا بخير ويبقى العود ما بقي اللحاء
يعيش المرء ما استحيا بخير ويبقى العود ما بقي اللحاء
Sekali-kali tidak –demi Allah- tak ada kebaikan dalam hidup dan
tidak pula Dunia, jika malu telah hilang.
Selama ada rasa malu, orang akan hidup baik, namun tidak bagi yang bermuka tebal.
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ
وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا
إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman
memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang
Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
0 comments:
Post a Comment