IBNU MISKAWAIH DAN FILSAFATNYA
- Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Akal
merupakan salah satu anugrah Allah SWT. Yang paling istimewa bagi manusia. Sudah
sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk
dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan di bawa sejak lahir
karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa. Dua sumber
pengetahuan yang di peroleh manusia, yaitu pengetahuan yang di
peroleh melalui wahyu dan pengetahuan yang di peroleh melalui panca indra.
Demikian halnya Ibnu Miskawaih
seorang anak manusia yang tumbuh berkembang seperti manusia lainnya, mencari
kebenaran baik melalui penelitian, pelatihan untuk mendapatkan berbagai
pengalaman dan dari pengalaman ia berinspirasi untuk mengkaji lebih dalam
tentang segala sesuatu yang berkaitan tentang kehidupan manusia, baik
menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Sehingga dalam berbagai
literaturnya ia juga menulis tentang kajian kedokteran, Sejarah, Bahasa dll. Sehingga Ibnu Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosop Muslim yang
termaktub dalam sejarah pemikiran islam. Ia memiliki tempat dalam sejarah
pemikiran.
Ibnu
Miskawaih hidup di tengah tengah situasi masyarakat yang memperhatinkan,
Kehidupan lingkungannya yang di warnai praktek-praktek amoral seperti
perzinahan, perjudian, perkosaan, penganiayaan dll. Keadaan ini menjadi alasan
Ibnu Miskawaih untuk lebih berkonstrasi mengkaji ilmu yang menyangkut etika
atau moral manusia karena dengan moral yang baik akan tercipta suasana
masyarakat yang damai dan bersahaja.
2. Biografi
Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih
adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu yakkub ibnu miskawaih. Ia dilahirkan di
kota Rayy, iran pada tahun 330 H/ 941M dan wafat di asfahan pada tanggal 9
shafar 421 H / 16 februari 1030M. Sejarah
hidup tokoh ini tidak banyak di ketahui banyak orang, para penulis dalam
berbagai literature tidak mengungkapkan biografinya secara rinci[1].
Namun demikian, ada beberapa hal
yang perlu di jelaskan bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Tharikh
Al-Tabhari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al- Qadhi dan belajar filsafat pada
ibnu al-khammar, mufasir kenamaan Karya-karya Aristoteles. Ada diantara penulis yang mengatakan bahwa ibnu miskawaih sebelum masuk
islam beragama majusi. Kredibilitas statemen ini perlu diragukan, karena
dilihat dari namanya, Muhammad, menunjukkan nama orang muslim. Agaknya benar
yang di kemukakan Abdurrahman Badawi bahwa statemen ini lebih tepat ditujukan
kepada bapaknya. Ibnu Miskawaih seorang penganut syiah. Indikasi ini didasarkan
pada pengabdiaannya kepada Sulthan dan Wazir-Wazir syiah dalam masa
pemerintahan Bani Buwaih (320-448H). Ketika Sultan Ahmad ‘Adhud Daulah
memegang tumpuk pemerintahan, ia menduduki jabatan yang penting, seperi diangkat
menjadi Khazin, Penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara.
3. Pemikiran Ibnu Miskawaih
a.
Tentang Ketuhanan
Tuhan, menurut miskawaih adalah zat
yang tidak berjism, Azali, dan pencipta.Tuhan Esa dalam berbagai aspek, ia
tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia ada tanpa diadakan dan
adaNya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain
membutuhkanNya. Tampaknya pemikiran Ibnu MIskawaih sama denagan pemikiran
al-Farabi dan Al-Kindi. Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak
dapat dikenal dengan sebaliknya, prograsi positif. Alasannya prograsi posotif akan menyamakan Tuhan dengan alam.Segala sesuatu
di alam ini ada gerakan.
Gerakan tersebut merupakan sifat
bagi alam yang menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bentuknya semula. Bukti tentang adanya Tuhan pencipta alam. Pendapat ini berdasarkan pada
pemikiran aristoteles bahwa segala sesuatu selalu dalam perubahan yang
mengubahnya dari bentuk semula. Sebagai filosofis releguis sejati. Ibnu
Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi
ada, karena penciptaan yang sudah ada bahan sebelumnya tidak ada
artinya. Disinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda
dengan Al-Farabi bahwa Allah menciptakan alam dari sesuatu yuang sudah ada.
b. Tentang
Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu MIskawaih
juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun
Emanasinya berbeda dengan Al-Farabi. Menurut entitas pertama yang memancarkan
dari Allah ialah akal aktif. Akal aktif ini tanpa perantara apapun. Ia
kadim, Sempurna dan Tak berubah. Dari akal inilah timbul jiwa dengan
perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan dan pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat
memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan Pancaran-Nya, maka
akan terhenti kemaujudan alam ini.
Untuk lebih
jelasnya dapat dikemukakan perbedaan Emanasi Antara Ibnu Miskawah dan
Al-Farabi sebagai berikut.
1.
Bagi Ibnu
Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara Emanasi dari tidak menjadi
ada. Sementara itu menurut Al-Farabi alam dijadikan tuhan secara pancaran dari
bahan yang sudah ada menjadi ada.
2.
Bagi Ibnu
Miskawaih Ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara itu, bagi
Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah akal pertama dan akal aktif adalah
akal kesepuluh.
Dari uraian
diatas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Miskawaih sejalan dengan
pemikiran Guru Kedua, Al-Farabi akan tetapi, Dalam penyelesaian masalah ini
lebih cenderung kepada Al-Kindi dan Teolog Muslim.
Sebagaimana
Ikhwan Al-Shafa, Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori
Evolusi, menurutnya alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan dan alam
manusia merupakan rentetan yang sambung mernyambung. Antara setiap alam tersebut
terdapat jarak waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan terjadi melalui merjan dari alam tumbuh tumbuhan ke alam
hewan melalui pohon kurma dan dari alam hewan ke alam manusia melalui kera.
c. Tentang Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih, adalah
jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah
satu kesatuan yang tidak dapat terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak
dapat diraba dengan panca Indra karena ia bukan jisim dan bagian dari
jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya[2].
Argumen yang di majukan adakah jiwa
dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan. Jadi
Ibnu Miskawaih mensinyalkan bahwa jiwa tidak dapat di bagi-bagi itu tidak
mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun
demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang
sederhana.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Miskawaih
juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indra. Secara
tegas menyatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat
diraba atau di indra. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap
panca indra, yakni dapat diraba dan juga tidak dapat di raba. Tentang
balasan Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa
jiwalah yang akan menerima balasan di akhirat. Karena, menurutnya, kelezatan
jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya.
d. Tentang
Akhlak
Ibnu Miskawaih seorang moralis yang
terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam islam, filsafat ini selalu dapat
perhatian utama, keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan
yang didasarkan pada ajaran islam dan di kombinasiakan dengan pemikiran yang
lain sebagai pelengkap, seperti filsafat yunani dan Persia. Yang di maksud sumber
pelengkap adalah sumber lain baru diambil jika sejalan dengan ajaran islam dan
sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian[3].
Akhak menurut konsep Ibnu
Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat
tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua
unsur, yakni unsur naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide diatas, secara tidak
langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang yunani yang
mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah.Babi Ibnu Miskawaih
akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan
pendidikan dan latihan latihan.pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran
dan ajaran islam karena secara eksplisit telah mengisyaratkan
ke arah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan
dan memperbaiki akhlak manusia. Karena kebenaran ini tidak dapat di bantah
sedangkan sifat binatang saja bisa berubah jadi liar menjadi jinak, apalagi
akhlak manusia.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan
sifat-sifat yang utama, sifat-sifat ini, menurutnya, erat kaitannya dengan
jiwa. Jiwa memiliki tiga daya : daya marah, daya berfikir, dan daya keinginan. Sifat
Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah
sifat utama bagi jiwa marah yang timbul dari jiwa hilm, sementara Murah adalah
sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari iffah. dengan demikian ada tiga
sifat utama yaitu hikmah, berani dan marah. Apabila ketiga sifat utama ini
serasi, muncul sifat utama yang keempat, yakni adil.
Dalam kitab Al-akhlak Ibnu Miskawaih
juga memaparkan kebahagian, menurutnya meliputi jasmani dan rohani. Pendapatnya
ini merupakan gabungan antara pendapat plato dan Aristoteles. Menurut plato
kebahagian yang sebenarnya adalah kebahagian rohani. Hal ini dapat diperoleh
manusia apabila rohaniyah telah berpisah dengan jasadnya. Dengan redaksi lain
selama rohaniyah masih terikat pada jasadnya, yang selalu menghalanginya cara hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak akan tercapai. Sebaliknya Aristoteles
berpendapat bahwa kebahagian dapat di capai dalam kehidupan di dunia ini, namun
kebahagian tersebut berbeda di antara manusia, seperti orang miskin
kebahagiaanya adalah kekayaan, yang sakit pada kesehatan dan lainnya.
Urain di atas dapat dijadikan bukti-bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran
islam. Sementara gabungan pendapat plato Aristoteles merupakan pemikiran
pelengkap yang ia terima karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
e. Tentang
Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih
juga Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil
perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara
akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang muslim yang
memperoleh hakikat hakikat kebenaran seperti ini juga diperoleh
oleh para pilosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehnik memperolehnya[4].
Filosof mendapatkan kebenaran
tersebut dari bawah keatas dari daya indrawi menaik kedaya khayal dan
menaik lagi kedaya Fikir yang dapat berhubungan dan menangkap kebenaran
dari akal aktif. Sementara itu Nabi mendapatkan kebenaran diturunkan
dari atas kebawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat
Allah.
Penjelasan diatas dapat dijadikan
petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasi antara agama dan
filsafat dan keduanya mesti cocok dan serasi, karna sumber keduanya sama. Justru
itulah filosof adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai
apa yang di bawa oleh nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bertolak pada
akal fikiran manusia.Namun demikian, tidak berarti manusia tidak membutuhkan
nabi karena dengan perantaraan nabi dan wahyulah manusia dapat mengetahui
hal hal yang bermanfaat. Yang dapat menbawa manusia kepada kebahagian. Ajaran ini
tidak dapat dipelajari oleh manusia kecuali para pilosof, dengan kata
lain sangat sedikit kuantitas manusia yang dapat mencapainya. Hal
ini karena filsafat tidak dapat di jangkau oleh semua lapisan masyarakat.
4. Karya Ibnu
Miskawaih
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal
sebagai seorang Pemikir, tetapi ia juga seorang penulis yang Produktif. Dalam
buku The Histiry of the Muslim Philosophy, di sebutkan
beberapa karya tulisnya. yaitu:
- Al-Fauz Al-Akbar Wal Asghar
- Tajarib Alumam
- Tahzib Al-Akhlaq
- Thaharah An-Nafs
5. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas maka di simpulkan beberapa poin penting sebagai berikut :
- Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran Islam, Sementara gabungan pendapat plato dan aristoteles merupakan pemikiran pelengkap yang ia terima selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
- Ibnu Miskawaih diberi julukan sebagai Bapak Filsof Akhlak sebab Objek kajiaannya lebih menitik beratkan pada masalah Moralitas.
- Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebahagian manusia meliputi kebahagian jasmani dan rohani.
Daftar
Pustaka
Ø Daud, Ahmad. Segi-Segi
Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Ø Hanafi, Ahmad. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Ø Zar, Sirajuddin. Filsafat
Islam: Filosof Dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Ø Hasyim Nasution. Filsafat
Islam, Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002.
Atang Abdul
Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, Bandung: VC Pustaka Setia,
2008.
0 comments:
Post a Comment