Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu”. (QS.
Al-Maidah: 3).
Kesempurnaan dan kejelasan ajaran Islam pun telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian (syariat) yang putih cemerlang
(jelas), malamnya seperti siangnya. Tidak akan menyeleweng daripadanya
sepeninggalku melainkan dia akan binasa”. (HR. Ibnu Majah I/16 no.43,
dan Ahmad IV/126 no.17182, dari jalan Al-‘Irbadh bin Sariyah
rodhiyallahu anhu).
Juga diriwayatkan dari Muththalib bin Hanthab radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ قَدْ
أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ إِلاَّ
قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
“Tidak kutinggalkan sesuatu pun dari yang Allah perintahkan kecuali
telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidaklah aku tinggalkan sedikit
pun perkara yang Allah larang melainkan sungguh telah aku larang kalian
dari padanya”. (HR. Imam Asy-Syafi’i di dalam Musnadnya I/233 no.1153).
Jelas sudah bagi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa
Islam telah sempurna dan lengkap serta tidak membutuhkan perubahan dan
penambahan atau pengurangan. Selain itu, Allah sendiri yang menjamin
kemurniannya, seperti dalam firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) dan sesungguhnya Kamilah yang menjaganya”.(QS. Al-Hijr: 9).
Sebagaimana Allah telah menjamin keaslian Al-Quran, seperti itu pulalah
Allah menjamin kemurnian Islam. Karena itu tidak akan ada pertentangan
apapun di antara segala perkara yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana
firman-Nya: أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ
غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا “Apakah mereka tidak
memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentu mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya”.
(QS. An-Nisa’: 82).
Demikianlah keseluruhan ajaran Islam. Pada asalnya tidak sedikit pun
mengandung unsur pertentangan. Pertentangan hingga perpecahan umat Islam
di dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidaklah terjadi
melainkan disebabkan tersebarnya hawa nafsu, syahwat, syubhat, keras
hati dalam menerima kebenaran, kurang atau bahkan tidak mengikuti
tuntunan Nabi, melemah dan hilangnya sunnah dan tersebarnya bid’ah, dan
mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan seperti mencampur Islam
dengan filsafat, ilmu kalam dan lain sebagainya. Memang berbagai macam
manhaj (konsep memahami agama) yang diikuti kebanyakan umat Islam yang
tidak sesuai dan tidak berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang shahih,
pasti tidak akan membawa manfaat apa pun, kecuali semakin menjauhkan
umat ini dari jalan yang benar.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ، ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ
اللهِ ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ، ثُمَّ
قَالَ : هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو
إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ : {وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ}.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Bahwa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya
lalu berkata, “Inilah jalan Allah yang lurus”. Kemudian membuat garis
lagi di sebelah kanan dan kirinya, seraya berkata, “Ini adalah
jalan-jalan yang lain. Tiada satu pun darinya tersebut kecuali di sana
ada setan yang menyeru kepadanya”.
Kemudian beliau membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah engkau
mengikuti jalan-jalan lain, karena kan mecerai-beraikanmu dari
jalan-Nya. Demikian itulah Allah wasiatkan kepadamu agar kamu bertakwa”.
(HR. Ahmad I/435 no.4142).
Jelas dari dalil di atas, bahwa manhaj (metode/cara) yang benar itu
hanya satu dan sikap mengikuti manhaj selainnya akan membawa
pertentangan, perpecahan, dan kesesatan. Padahal sebelumnya,
prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri adalah satu sejak zaman Nabi Adam
hingga Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Demikian juga halnya
dengan kondisi umat yang ada.
Namun karena berbagai penyelewengan itulah akhirnya terjadi pertentangan
dan perpecahan. Hal ini dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلا
كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ
“Tidaklah manusia itu (dahulu) melainkan umat yang satu, kemudian mereka
berselisih. Kalau tidak karena ketetapan yang telah berlalu dari
Rabb-mu, niscaya telah diberi keputusan di antara mereka mengenai apa
yang mereka perselisihkan”. (QS. Yunus: 19).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, bahwa akan ada generasi manusia
berikutnya yang beraneka ragam agama, keyakinan, ajaran, kelompok, dasar
pijakan, dan pikiran mereka. Sedangkan Ikrimah mengatakan bahwa mereka
berselisih dalam petunjuk. Tetapi di antara mereka ada yang
dikecualikan, sebagaimana firman-Nya:
وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. (QS. Huud: 118-119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Allah mengabarkan bahwa
orang-orang yang dirahmati-Nya tidak akan berselisih. Mereka adalah para
pengikut Nabi dengan perkataan dan perbuatan, dan mereka adalah ahli
Al-Quran dan hadits dari umat ini”. Yakni mereka yang mendapat rahmat
Allah dari setiap pengikut para Nabi yang berpegang teguh dengan segala
yang diperintahkan agama. Mereka itu dikenal dengan golongan yang
selamat (Al-Firqoh An-Najiyah). Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi
shallallahu ’alaihi wasallam:
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ, ثِنْتَانِ وَسَبْعِيْنَ فِي النَّارِ
وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kamu dari ahli kitab telah
berpecah belah menjadi 72 kelompok. Dan sungguh umat ini akan berpecah
belah menjadi 73 golongan. 72 berada di neraka dan hanya satu dalam
surga, yaitu al-jama’ah”. (HR. Ahmad IV/102 no.16979, Abu Dawud II/608
no.4597, Ibnu Majah II/1322 no.3992).
Sekarang, permasalahan yang lebih penting untuk diketahui adalah manhaj
(cara) yang bagaimana dan siapa tokoh-tokoh yang harus diikuti dalam
mempelajari, memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam tersebut?
Ciri-ciri manhaj mereka adalah berdasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Al-Quran Al-Karim
Pedoman pertama dan paling tinggi dalam memahami dan mengamalkan ajaran
Islam yang paling benar dan selamat, tiada lain adalah Al-Quran Al-Karim
yang merupakan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Barangsiapa yang
mengingkari wajibnya berpegang teguh dengan Al-Quran Al-Karim, maka dia
itu kafir menurut kesepakatan (ijma’) umat Islam. Wajibnya berpegang
teguh dengan Al-Quran Al-Karim tampak dari firman Allah ta’ala berikut
ini:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan itulah kitab. Kami telah menurunkannya dengan penuh keberkahan,
maka ikutilah dan berdakwalah agar kamu mendapat rahmat”. (QS.
Al-An’am:155).
Dan dari sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:
أَلاَ وَإِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ ثِقَلَيْنِ, أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى
وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu 2 perkara, salah satunya ialah kitab
Allah ‘azza wa jalla, ia itu tali Allah, barangsiapa mengikutinya, maka
ia berada di atas hidayah. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia dalam
kesesatan”. (HR. Muslim IV/1873 no.2408).
2. Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang shahih.
Pedoman yang kedua adalah Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang
shahih. Hal ini dapat dimaklumi dan tidak bisa diingkari. Dalam memahami
dan mengamalkan Al-Quran Al-Karim, baik dari segi akidah, ibadah,
muamalah, adab dan akhlak tidak dapat dilepaskan dari peranan hadits
Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, karena hadits merupakan penjelasan
yang rinci dan detail terhadap apa yang dikandung Al-Quran secara global
dan umum. Bahkan ini merupakan metode yang ditentukan oleh firman Allah
ta’ala:
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) agar kamu (Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam) menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkannya”. (QS.
An-Nahl: 44).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah sesungguhnya diturunkan kepadaku Al-Quran dan yang serupa
bersamanya (As-Sunnah/hadits Nabi)”.(HR. Ahmad IV/130 no.17213, dan Abu
Dawud II/610 no.4604).
Berepegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah belumlah cukup. Banyak dijumpai
dalam buku atau pengajian-pengajian yang mengupas masalah yang sama,
tapi penjelasannya berbeda atau malah berlawanan, hal ini bisa bahaya
sebab kalau menyangkut masalah akidah jika salah maka neraka akibatnya.
Contohnya golongan Ahmadiyah membelokkan makna sabda Nabi shallallahu
’alaihi wasallam, (لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ ) “Tidak ada Nabi sesudahku”.
Dengan mengatakan bahwa, “Bersamaku tidak ada Nabi, akan tetapi jika aku
telah mati akan ada Nabi”. Mereka juga mengartikan makna (خَاتَمَ)
khatam dari ayat di bawah ini, (…وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَ خَاتَمَ
النَّبِيِّيْنَ …) “Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.
(QS. Al-Ahzab: 40). Dengan arti yang berbeda yaitu “perhiasan para
nabi”, karena khatamu kalau diterjemahkan adalah perhiasan jari
(cincin). Dari sini dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap Al-Quran
dan As-Sunnah/Al-Hadits tidak boleh dilakukan oleh semua orang, karena
bisa menjerumuskan pada kesesatan.
3. Atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat Nabi.
Untuk dapat memahami dan mengamalkan dua pedoman di atas dengan benar,
maka haruslah merujuk kepada atsar (riwayat berupa perkataan dan
perbuatan) para sahabat. Hal ini jelas terlihat dalam berbagai riwayat
hadits iftiraq al-ummah (perpecahan umat) yang jalur periwayatannya
banyak sekali. Semuanya menyatakan bahwa hanya satu golongan yang
selamat dari perpecahan tersebut, yaitu yang mengikuti jejak Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat. Allah subhanahu wa ta’ala
sendiri telah ridha terhadap mereka, seperti dalam firman-Nya:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang mukmin yang berjanji
setia kepadamu di bawah pohon (bai’at al-ridwan). Maka Allah mengetahui
apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka
dan memberi balasan bagi mereka kemenangan yang dekat”. (QS. Al-Fath:
18).
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhuma berkata: “Kami (saat itu) berjumlah 1400 orang”. (HR. Bukhari).
Dan di dalam ayat lain Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang terdahulu yang pertama masuk Islam dari orang-orang
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung”.
(QS. At-Taubah: 100).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa orang yang membenci dan
mencela baik sebagian atau semua sahabat Nabi, akan mendapat kecelakaan.
Sebagaimana kelompok Syi’ah (Rafidhah) yang kerjaannya hanya membenci,
mencela dan menentang keutamaan para sahabat Nabi. Padahal Nabi sendiri
bersabda:
أَكْرِمُوْا أَصْحَابِيْ ، فَأِنَِّهُمْ خِيَارُكُمْ
“Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah orang
terbaik di antara kalian”. (Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam
Musnadnya no.23, Ibnu Baththoh di dalam Al-Ibanah Al-Kubro no.84, dan
selainnya. Dan dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani di dalam Misykat
Al-Mashobih III/308 no.6003).
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا أَ صْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أّحَدَكُمْ أّنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari
kalian berinfaq emas seperti gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud
(infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”. (HR.
Bukhari III/1343 no.3470, dan Muslim IV/1967 no.2540, dan Ahmad III/63
no.11626).
Beliau shallallahu ’alaihi wasallam Juga bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
“Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah”. (HR.
Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushonnaf no.1741, dan Ibnu Abi ‘Ashim
dalam As-Sunnah no.832. Dan dinyatakan HASAN oleh syaikh Al-Abani di
dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah V/446 no.2340).
Imam Thahawi berkata: “Benci terhadap sahabat adalah kekafiran,
kemunafikan dan tindakan melampaui batas”. Imam Abu Zur’ah Ar-Razi
berkata: “Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat Nabi,
maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq (munafik). Karena menurut kita,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah benar dan Al-Quran juga
benar. Sedangkan yang menyampaikan Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu
’alaihi wasallam kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin
mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al-Quran dan As-Sunnah
(Al-Hadits). Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas, dan
mereka adalah zindiq”. Mengenai keadilan dan keutamaan para sahabat
sudah banyak dijumpai baik di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang
shahih. Keharusan mengikutinya adalah suatu hal yang wajib, masuk akal,
bisa diterima serta maklum adanya. Merekalah saksi hidup yang dibimbing
langsung oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, sehingga lebih
mengetahui dan paham mengenai ajaran Islam dan pengamalannya.
4. Jejak para tabi’in dan tabiut tabi’in.
Setelah masa sahabat, terdapat suatu generasi yang masih komitmen
mengikuti jejaknya. Demikian pula para ulama sesudah generasi mereka.
Anjuran untuk senantiasa bersama-sama dengan generasi yang utama dalam
memahami dan mengamalkan ajaran Islam didasarkan firman Allah subhanahu
wata’ala dalam surat At-Taubah ayat 100 yang telah kita sebutkan di
atas. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka,
lalu yang sesudahnya lagi”. (HR. bukhari II/938 no.2509. lihat pula
hadits nomor. 3451, 6065, 6282, dan Muslim IV/1962 no.2533).
Semoga setelah mengetahui cara memahami dan mengamalkan ajaran Islam
secara benar, akan lebih memperkokoh dalam menghadapi suara-suara
sumbang baik musuh dalam diri Islam (orang munafik dan ahli bid’ah)
maupun orang-orang kafir. Jangan mudah tertipu propaganda palsu yang
menyesatkan, yang berkedok Al-Quran dan As-Sunnah namun pemahamannya
keliru. Yang lebih penting, semoga kita bisa beramal dan berdakwah
dengan landasan yang kuat.
Home »
» CARA MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN ISLAM DENGAN BENAR
CARA MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN ISLAM DENGAN BENAR
Written By Unknown on Wednesday, March 20, 2013 | 7:26 PM
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment