Home » » Malu

Malu

Written By Unknown on Monday, April 8, 2013 | 8:01 PM



Dewasa ini terjadi di masyarakat kita adalah menipisnya atau bahkan hilangnya rasa malu. Padahal malu itu termasuk salah satu cabang Iman. Dan dengan malu manusia akan mampu untuk menjaga diri dari kemaksiatan. Namun apa yang terjadi sekarang, hilangnya rasa malu sehingga kemaksiatan terjadi di depan mata, seperti korupsi, perzinahan, pembunuhan, menampakkan aurat dan lain sebagainya.

Rasulullah saw bersabda di riwayatkan dalam hadis Imam Bukhari no. 3483 dan 3484. Yang artinya :

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Sesungguhnya salah satu perkara yang telah di ketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.”

Ajaran para Nabi, sejak pertama hingga Nabi terakhir. Ada yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di antara ajaran yang tidak pernah sirna adalah Rasa Malu. Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Agama. Oleh karena itu harus mendapatkan perhatian yang lebih mendalam.

Lantas apa sebenarnya Malu itu?

Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang di benci. (lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala (hal. 53)).

Imam Ibnul Qayyim berkata: “ Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa Malu berasal dari kata Al-Hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak mahsyur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al Junaid berkata: “ Rasa Malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
(Madarijus Salikin (II/270). Lihat juga Fathul Bari (X/522) tentang definisi Malu.

Dari definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa Malu ialah sifat terpuji yang dimiliki manusia yang harus diwujudkan dalam aktifitas sehari-hari agar meraih Ridha ilahi

وَمِنْ عُقُوْبَاتِهَا ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَةُ الْحَياَة ِللْقَلْبِ وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَذِهَابُ كُلِّ خَيْرٍ بِأَجْمَعِهِ

Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan

Malu adalah salah satu cabang keimanan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka barang siapa yang kurang rasa malunya berarti bukti lemah imannya. Dalam as-Shahihain (kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

الحياء لا يأتي إلا بخير

"Tidaklah muncul rasa malu kecuali dengan kebaikan"

Pada riwayat Muslim :
الحياء خير كله

"Malu itu baik semuanya"

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radiallahu 'anhu bahwa Beliau berkata:

إن الله إذا أراد بعبد هلاكا نزع منه الحياء, فإذا نزع منه الحياء, لم تلقه إلا مقيتا ممقتا

"Sesungguhnya jika Allah menginginkan kehancuran terhadap seorang hamba, Ia akan mencabut sifat malu darinya, maka jika sifat malu itu telah diangkat darinya, kamu 'tak 'kan menemuinya kecuali (ia dalam keadaan) dibenci dan memuakkan"

Seorang penyair berkata:

فلا والله ما في العيش خير ولا الدنيا إذا ذهب الحياء
يعيش المرء ما استحيا بخير ويبقى العود ما بقي اللحاء

Sekali-kali tidak –demi Allah- tak ada kebaikan dalam hidup dan tidak pula Dunia, jika malu telah hilang.

Selama ada rasa malu, orang akan hidup baik, namun tidak bagi yang bermuka tebal.

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

By Ponpes Al Huda Wat Tuqo. Powered by Blogger.


 
Support : http://www.cecep-suherman.blogspot.com Copyright © 2013. Ponpes Al- Huda Wat Tuqo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by Santri Al Huda Wat Tuqo